Logging Giants Robbing Peter and Not Even Paying Paul | Broadcast 1 April 2020

IMG-20200330-WA0035.jpg

ENGLISH - On last week’s show, we spoke to Penan activist Komeok Joe about the logging activity that continues unabated through the MCO period up in Ulu Baram where big name companies like Shin Yang continue to decimate the forest just as Covid-19 decimates the world economy. As environmentalists and journalists across the world are starting to warn, Komeok reminds us that this kind of activity is more dangerous to indigenous communities than the virus itself, destroying their livelihood as well as the world’s health.

However, today we hear from Miss Ebby, who works for the Imperial Palace in Miri, owned by the self-same Shin Yang, who have made billions of ringgit extracting resources from under the noses of vulnerable communities, that she is now on unpaid leave. Apparently, the big boss has not decided yet whether he has enough money to pay his loyal workers in his hotel chains, financed by years of strip-mining Sarawak. Simply shocking.

Then we speak to two Indonesians who are making their way back to Sambas as we speak, despite it being a virus hot zone. These two men once made a living through illegal logging activities, working for an Iban who then sold the sawn logs to a Chinese towkay. But now the towkay cannot pick up the wood which is rotting in the jungle near Tatau and these two boys are on their way home. With no job, no money and no food, they are taking their letter from the Indonesian consulate and leaving the country, though hopefully not bringing Covid-19 with them.

We end with Darwin Tan, the former BIMP-EAGA chair for ICT. He predicts that up to 50% of SMEs could go bust after this lockdown, leaving around 4.5 million workers jobless. The impact will be felt in a variety of ways, probably impacting the urban more than the rural. Online businesses might reap the rewards of a new world order, he says, and the indigenous people should and are making the most of that. He tells us of Kundasang villagers starting to sell their veggies online and even how fisherman across Malaysia are connecting with customers through Facebook. Of course, all this depends on investment in rural IT infrastructure and the State Governments have so far done next to nothing to allow them to access this economy, in spite of Abang Jo’s often repeated mantra on the digital economy. Sarawak and Sabah remain 60 years behind even the Peninsula and so a post-covid world presents the same problems.

Tune in for all this and more, including our usual Berita Menoa. Semoa Kitai Tau Bejako!

————

IBAN - Dalam progrem Radio Nyawa Sarawak minggu dulu, kitai bisi ninga penerang ari Penan activist ti benama Kemeok pasal kompini Shin Yang ti enchuri berimba kampung tuai di menua Limbang. Kimpini nya ngelangar Atur Besekat Pemimdah ngasuh kuli iya berimba kayu kampung di Ulu Baram. Kompini Shin Yang ngerusak kampung tuai menua Sarawak baka coronavirus ti ngerusak economy dunya. Sebaka enggau bala activist di sekayu dunya tu, Komeok madahka kompini nya ngerusak pengidup enggau pengerai mensia di dunya tu.

Seharitu tadi, kami bisi nemu berita ari Miss Ebby ti gawa ba lmperial Palace, sebuah hotel enggi Shin Yang. Miss Ebby diatu cuti nadai begaji. Nyangka tokey iya agi ngira duit bisi tauka nadai dikena mayar orang ti gawa ba hotel nya, taja Shin Yang udah bukih bebillion ringgit duit ari asil  ia ti munas sereta bejualka pengeraja asal menua Sarawak.

Kitai ningaka berita 2 iku rayat lnfonesia ti mujur mulaika diri ka Sambas endur coronavirus ti berampit diatu. Seduai  nya gaws ba tokey lban ti enchuri nebang kayu kampung ka dijual ngagai tokey China. Tokey China nya nadai daya ngangkut kayu nya. Kayu nya ditejuka buruk dalam kampung  di menua Tatau din. Seduai 2 iku nya pulai laban agi kereja,nadai duit enggau nadai barang pemakai, semina pulai ka Sambas mai surat pass ari opis Indonesia di Kuching, sereta arapka diri pulai nadai mai coronavirus.

Ka  penududi kitai ningaka penerang ari Darwin Tan ari BIMP-EAGA tuai ICT. lya belabaka 50% pengawa dagang tutup udah tu ila, kira 4.5 million mensia nadai pengawa. Pangka penusah convid19 tu mayuh ngenusah orang di nengeri, tang orang di pesisir kurang mimit. Dagang online lebih agi mansang dalam atur dunya baru, ti patut meri penguntungka bansa assl, diatu orang di Kundasang nyual sayur sida online pia mega orang berikan nyual ikan sida ngena atur meri penerang ba Facebook. Pemujur dagang online bepanggai ba pemansang IT di pesisir, tang Perintah Sarawak nadai ngaga pengawa pemansang IT di pesisir taja Abg. Joe madahka perintah  deka ngemansangka digital economy. Sabah enggau Sarawak 60 taun tinggal laban Malaya ba pengawa pemansang, orang di Malaya ti di pesisir din sama agi tinggal.

Pendingka cherita bukai nyengkau Berita Menua ari Radio Nyawa Sarawak. Semua Kitai Tau Bejaku!

————

BAHASA MALAYSIA - Dalam siaran minggu lalu, kami berbicara dengan aktivis Penome Komeok Joe tentang kegiatan pembalakkan yang masih berlanjutan walaupun ada PKP di Ulu Baram di mana perusahaan besar seperti Shin Yang terus memusnahkan hutan seperti bagai Covid-19 menghancurkan ekonomi dunia kita. Ketika aktivis alam sekitar dan jurnalis di seluruh dunia membagi amaran, Komeok mengingatkan kita bahwa kegiatan semacam ini adalah lebih berbahaya untuk masyarakat orang daripada virus itu sendiri, kerana menghancurkan mata pencaharian mereka serta menjejas kesehatan dunia.

Namun itu, hari ini kita mendengar dari Miss Ebby yang bekerja untuk Imperial Palace di Miri dimiliki oleh Shin Yang yang telah membuat berbillion ringgit dengan merembat sumber alam dari bawah batang  hidung masyarakat Sarawak, Miss Ebby sekarang bercuti tanpa bayaran . Rupa-rupanya bos besar itu belum memutuskan apakah dia punya cukup wang untuk membayar pekerja hotelnya yang setia, dibiayai oleh hasil rembatan Sarawak sudah berpuluhan tahun. Ini cukup mengejutkan.

Kemudian kami berbicara dengan dua orang warga Indonesia yang sedang dalam perjalanan pulang ke Sambas. Kedua orang ini mencari nafkah melalui kegiatan kerja penebangan balak haram dan mereka bekerja untuk seorang Iban yang kemudiannya akan menjual kayu yang digergaji itu kepada towkay Cina. Tetapi sekarang apabila towkay tidak dapat mengambil kayu yang sedang membusuk di hutan dekat Tatau, kedua orang ini sedang dalam perjalanan pulang. Tanpa pekerjaan, tanpa wang, dan tanpa makanan - mereka mengambil surat dari konsulat Indonesia untuk meninggalkan negara kita, mudah-mudahan tidak membawa Covid-19 bersama mereka.

Kami berakhir dengan Darwin Tan, bekas ketua BIMP-EAGA untuk bidang ICT. Beliau meramalkan bahawa sehingga 50% daripada PKS (SME) boleh terjejas selepas kawalan ini, menyebabkan kira-kira 4.5 juta pekerja menganggur. Kesannya akan dirasai dalam pelbagai cara, memberikan kesan di bandar daripada penduduk luar bandar. Perniagaan dalam talian mungkin mendapat ganjaran dari susunan dunia baru, katanya, dan orang asal harus dan paling patut dapat merebut peluang. Dia memberitahu kami berita penduduk kampung Kundasang yang mula menjual sayur-sayuran mereka dalam talian, dan juga, bagaimana nelayan di Malaysia menghubungi pelanggan melalui Facebook. Sudah tentu semua ini bergantung kepada pelaburan di dalam infrastruktur IT luar bandar dan Kerajaan Negeri setakat ini tidak ada apa-apa untuk membolehkan mereka buka akses kepada ekonomi ini, walaupun mantra Abang Jo sering menjulang pada ekonomi digital. Sarawak dan Sabah masih kekal 60 tahun di belakang Malaya dan pada masa dunia pasca-COVID yang dihadapi sama.

Dengarkan semua ini dan banyak lagi, termasuk Berita Menoa kebiasaan dari kami. Semoa Kitai Tau Bejako!

Forest SEA